Rabu, 10 Agustus 2011

SOEKARNO, SOEDIRMAN, .....dan YOGYAKARTA

'

“Ikutlah Bung Karno dengan saya,” kata seorang jenderal bertubuh kerempeng, yang berani membangunkan sang presiden dari tidurnya. Sang presiden, atasan si jenderal, menolak ajakan jenderalnya untuk bangun dari tidur dan lari ke hutan bersama si jenderal. “Saya harus tinggal di sini!”

Percakapan antara sang presiden dan si jenderal, terjadi pada hari naas, di pagi buta hanya beberapa jam sebelum ibukota negara jatuh ke tangan musuh. Si jenderal punya alasan kuat mengajak bosnya, untuk berjuang bersama di hutan sana, bukan di kota, apalagi hanya ngendon di istana saja, yang sebentar bisa ditebak keadaannya.

Si jenderal itu baru berusia 32 tahun, akhirnya ngambek dan lari ke hutan dengan membawa rasa dendam pada Belanda, juga rasa amarah pada Soekarno dan tokoh-tokoh sipil republik ini. Soedirman si jenderal itu murka karena ternyata Soekarno dan kawan-kawan membiarkan diri ditangkap musuh. Baginya itu sebuah aib. Harga diri.

Hari itu Minggu pagi saat orang bersiap ke gereja, hari 18 Desember 1948, Jogjakarta ibukota negara jatuh ke tangan kekuasaan Belanda. Republik Indonesia yang baru berusia balita, untuk sementara hampir redup, tetapi bagi Soedirman tetap hidup.

 Dalam cerita relief perjalanan negeri ini, hubungan Soedirman dengan Soekarno terukir dengan harmonis, bahkan kelewat akrab hingga seperti hubungan romantik penuh gejolak konflik. Mereka berdua juga saling membutuhkan, saling menjaga, saling menyapa, bahkan kian senyawa. Keduanya tak mudah tunduk dan gampang menyerah untuk sebuah hal yang mereka tentang. Namun mereka kadang berlainan melihat sebuah masalah penting, seperti ajakan Soedirman bergerilya yang ditolak Soekarno.

“Kalau Belanda menyakiti Soekarno, bagi mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran!” ancam Soedirman di depan Soekarno dihari kelabu itu sebelum lari ke belantara hutan. Kita semua tahu, Soekarno ternyata bukan hanya disakiti, tapi juga dipermalukan dan dihina. Dia dibuang jauh oleh Belanda ke tempat sunyi untuk beberapa bulan.

Di hutan nan jauh di sana, sang jenderal teguh mewujudkan janjinya dengan gerilya susah payah menghancurkan Belanda, dengan satu paru-paru sambil ditandu  keluar masuk hutan oleh anak buahnya yang setia selama tujuh bulan. Dan akhirnya keluar dari hutan sebagai pemenang.

Namun sayang ketika negeri ini mulai kuat berdiri, persahabatan antara kedua orang ini tidak berlangsung lama. Soedirman, tokoh yang dianggap banyak orang bagai laksana ksatria, tak mampu mengalahkan penyakitnya sendiri di hari 29 Januari 1950.

Setelah Soedirman wafat, Soekarno menempatkan sosok sahabatnya itu bagai sebuah ikon sejarah. Nama Soedirman (kadang ditulis Sudirman) diabadikan Soekarno dengan indah. Hampir semua pusat kota di negeri ini bernama Jalan Sudirman. Di Jakarta saja, nama Soedirman telah bersenyawa dengan nama sebuah kawasan elite bisnis, mewah dan bergengsi.

Bagai kakak beradik, usia mereka memang terpaut jauh dan membuat keduanya mudah memposisikan diri dalam jarak antar pribadi yang sangat dekat. Soekarno menganggap dirinya kakak bagi Soedirman (Soekarno lebih tua 15 tahun).

“Nanda doakan kepada Tuhan, moga2 Dinda segera sembuh,” tulis Soekarno dalam sebuah surat yang romantis sebulan sebelum Soedirman wafat. Ketika mereka bertemu sebelumnya di Istana Kepresidenan di Jogjakarta, Soekarno memeluk dengan akrab dan mesra tubuh Soedirman yang letih dan kurus.

Peristiwa pertemuan dua sahabat ini sangat monumental dan menjadi legenda dalam sejarah fotografi Indonesia. Dalam adegan pertemuan itu, Soekarno minta diulang adegan saat dia memeluk mesra Soedirman, sehingga para fotografer yang menyaksikannya, bisa mendapat momen yang tepat dari kamera....!!!


"Insjafilah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafekan.(Panglima Soedirman)

* Matur Suwun mba Rere Loreinetta atas catatannya

0 komentar:

Posting Komentar