Rabu, 17 Agustus 2011

ANAK YATIM, ANAK-ANAK KITA | sebuah Renungan


Cara Pandang (terhadap) Anak Yatim
[Emha Ainun Nadjib]

Sekarang saya ingin bercerita tentang anak yatim, karena ini juga menarik, karena anak yatim ini ternyata, haduh, yatim ini mestinya kan ngga ada, negara kayak gini besarnya, orang tua sangat banyak, dana-dana sosial sudah tersedia, panti-panti asuhan sangat banyak.

Mustinya sudah tidak ada anak yatim. Paling tidak sudah sangat minimal. Artinya, begitu anak yatim atau piatu atau yatim piatu kita bawa masuk ke panti asuhan, tujuan utamanya adalah begitu dia menginjakkan kaki di pintu panti asuhan maka dia bukan anak yatim lagi, karena dia sudah punya bapak ibu sosial, sudah punya orang tua yang menanggung dia, sehingga namanya yang benar juga bukan panti asuhan anak yatim. Nanti anak itu makin menderita, “Saya ini yatim ya Allah”, tiap hari tiap pulang dari sekolah melihat tulisan itu, panti asuhan anak yatim. “Ya Allah saya ini yatim”.

Loh, kita ini ingin menolong hatinya, menjadi bapak ibunya atau mau menyiksa dia? dengan terus menerus menusuk-nusuk mata dan hati dan pikirannya dengan menegaskan bahwa mereka itu anak yatim.

Saudara2 ku semua, ingatlah bahwa kita ini tidak punya jasa apapun kepada mereka, jangan dipikir kita mampu menolong anak yatim, di hadapan Allah, kita ini yang ditolong mereka, anak yatim ini yang menolong kita. kalau tidak ada mereka, nasib kita belum tentu di hadapan Allah.

Jadi jangan sekali-kali, saya sendiri tidak pernah berani, meskipun saya menampung cukup banyak di berbagai daerah, tapi saya tidak berani merasa bahwa saya pernah menolong mereka. Saya sedang ditolong oleh mereka. Bahkan kalau saya mendapat kesulitan macam-macam mereka yang menolong saya langsung dengan wirid-wirid mereka, dengan doa-doa mereka.

Dan kalau saya umpamanya mengasih makan kepada mereka itu bukan berarti saya menolong mereka. Saya sedang menyelamatkan diri saya di hadapan Allah. Sebab kalau saya tidak lakukan hak mereka itu maka Tuhan akan mempersalahkan saya. Itu ayatnya jelas, Alladzi yadu’-'ulyatim.

Jadi, Saudara-saudaraku semua yang berurusan dengan anak yatim, jangan lagi sebut mereka anak yatim, karena mereka adalah anak-anakmu. dan mereka jangan sampai ingat bahwa mereka adalah yatim, itulah tujuan dari setiap penanganan kepada anak-anak yang semula kita sebut yatim, tapi begitu kita tangani mereka adalah anak kita.
Dan kata yatim kata piatu kita buang sejauh-jauhnya.

Orong-orong dan Ilmu Kesejatian, Delta FM. Emha Ainun Nadjib.





MENYANTUNI ANAK  YATIM
[Oleh Rudi Setiadi]

ANAK yatim adalah anak yang ditinggalkan mati ayahnya selagi ia belum mencapai umur balig.
Dalam Islam, anak yatim memiliki kedudukan tersendiri. Mereka mendapat perhatian khusus dari Rasulullah saw. Ini tiada lain demi untuk menjaga kelangsungan hidupnya agar jangan sampai telantar hingga menjadi orang yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, banyak sekali hadis yang menyatakan betapa mulianya orang yang mau memelihara anak yatim atau menyantuninya. Sayang, anjuran Beliau itu sampai kini belum begitu mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat. Hanya sebagian kecil saja umat Islam yang mau memperhatikan anjuran itu. Hal ini semestinya tidak layak dilakukan umat Islam yang inti ajarannya banyak menganjurkan saling tolong sesama umat Islam dan bahkan selain umat Islam.

Di Indonesia, khususnya di desa-desa, sampai sekarang kebiasaan memberi uang ala kadarnya pada tanggal 10 Muharam kepada anak yatim masih berlaku. Pada setiap tanggal 10 Muharam, anak-anak yatim bergerombol-gerombol mendatangi rumah-rumah orang kaya atau para dermawan. Di situ mereka memperoleh pembagian uang. Kebiasaan demikian sungguh amat terpuji, tetapi apakah para anak yatim hanya butuh bantuan sekali itu?

Tentunya tidak. Mereka membutuhkan bimbingan sampai dirinya mampu mengarungi bahtera kehidupannya sendiri. Betapa mulianya orang yang mau berbuat demikian, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari bersumber dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Saya yang menanggung (memelihara) anak yatim dengan baik ada di surga bagaikan ini, seraya Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan Beliau rentangkan kedua kaki jarinya itu” (H.R. Bukhari).

Allah sendiri berfirman yang artinya, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa besar "(An-Nisaa:2).

Anak yang ditinggal mati oleh ibunya ketika ia masih kecil bukanlah termasuk anak yatim. Sebab bila kita lihat arti kata yatim sendiri ialah kehilangan induknya yang menanggung nafkah. Di dalam Islam yang menjadi penanggung jawab urusan nafkah ini ialah ayah, bukan ibu. Alquran telah menjelaskan adanya larangan memakan harta anak yatim dengan cara lalim sebagaimana firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya orang yang memakan harta anak yatim secara lalim. Sebenarnya mereka itu menelan api neraka sepuluh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala” (An-Nisaa: 10).

Ismail bin Abdurrahman berkata, “Pemakan harta anak yatim dengan lalim itu besok di hari kiamat akan dikumpulkan dan di waktu itu keluarlah api yang menyala-nyala dari mulutnya, telinganya dan matanya sehingga semua orang mengenalnya bahwa ia sebagai pemakan harta anak yatim.”

Para ulama berkata, bagi setiap wali anak yatim bilamana ia dalam keadaan fakir diperbolehkan baginya memakan sebagian anak yatim dengan cara ma’ruf (baik) menurut sekadar kebutuhannya saja demi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhannya tidak boleh berlebih-lebihan dan jika berlebih-lebihan akan menjadi haram.

Menurut Ibnul Jauzi dalam menafsirkan “bil ma’ruf” ada 4 jalan yaitu,
Pertama, mengambil harta anak yatim dengan jalan kiradl.
Kedua, memakannya sekadar memenuhi kebutuhan saja.
Ketiga, mengambil harta anak yatim hanya sebagai imbalan, apabila ia telah bekerja untuk kepentingan mengurus harta anak yatim itu, Keempat, memakan harta anak yatim tatkala dalam keadaan terpaksa, dan apabila ia telah mampu, harus mengembalikan dan jika ia benar-benar tidak mampu hal tersebut dihalalkan.

Kecuali mengancam orang yang merugikan harta anak yatim, Allah juga akan mengangkat derajat orang-orang yang suka menyantuni anak yatim; sebagaimana sabda Nabi, “Barang siapa yang menanggung makan dan minum (memelihara) anak yatim dari orang Islam, sampai Allah SWT mencukupkan dia, maka Allah mengharuskan ia masuk surga, kecuali ia melakukan dosa yang tidak terampunkan” (H.R. Turmudzi).

Dari hadis ini, memberikan jaminan bagi orang-orang yang mau mengasuh anak yatim akan memperoleh imbalan pahala dari Allah SWT, berupa surga yang disejajarkan dengan surga Nabi saw., kecuali ia melakukan dosa-dosa yang tidak terampunkan oleh Allah SWT. Demikianlah kewajiban kita sebagai umat Islam dalam menyantuni anak yatim.***


Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/10/renungan_jumat.htm

0 komentar:

Posting Komentar