FILOSOFI DALAM TOKOH SEMAR
“WANI MATI SAK JRONING URIP”
“WANI MATI SAK JRONING URIP”
Ucapan terkenal dari seorang ki Semar setiap kali mau mengawali dialog:
“mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…”
(diam, bergerak/berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi)
Maksudnya, daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng). Sebuah pesan agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan namun kepuasan yang didapat karena berusaha tersebut akan abadi.
Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh punakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.
SEJARAH SEMAR
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
SEMAR DAN WAHYU
Telah dipaparkan bahwa Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dlam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.
Dari bentuknya saja, tokoh ini tidak mudah diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa anak Sang Hyang Wisesa, pencipta alam semesta.
Dengan penggambaran bentuk yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sosok yang sarat misteri, ia juga merupakan simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar tersimpan karakter wanita, karakter laki-laki, karakter anak-anak, karakter orang dewasa atau orang tua, ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu. Kesempurnaan tokoh Semar semakin lengkap, ditambah dengan jimat Mustika Manik Astagina pemberian Sang Hyang Wasesa, yang disimpan di kuncungnya. Jimat tersebut mempunyai delapan daya yaitu; terhindar dari lapar, ngantuk, asmara, sedih, capek, sakit, panas dan dingin. Delapan macam kasiat Mustika Manik Astagina tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup di alam kodrat, ia berada di atas kodrat. Ia adalah simbol misteri kehidupan, dan sekaligus kehidupan itu sendiri.
Jika dipahami bahwa hidup merupakan anugerah dari Sang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah Sang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar adalah gambaran riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai dan menghidupi hidup itu sendiri, hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika hidup itu dijaga, dipelihara dan dicintai maka hipup tersebut akan berkembang mencapai puncak dan menyatu kepada Sang Sumber Hidup, manunggaling kawula lan Gusti. Pada upaya bersatunya antara kawula dan Gusti inilah, Semar menjadi penting. Karena berdasarkan makna yang disimbolkan dan terkandung dalam tokoh Semar, maka hanya melalui Semar, bersama Semar dan di dalam Semar, orang akan mampu mengembangkan hidupnya hingga mencapai kesempurnaan dan menyatu dengan Tuhannya.
Selain sebagai simbol sebuah proses kehidupan yang akhirnya dapat membawa kehidupan seseorang kembali dan bersatu kepada Sang Sumber Hidup, Semar menjadi tanda sebuah rahmat Illahi (wahyu) kepada titahnya, Ini disimbolkan dengan kepanjangan nama dari Semar, yaitu Badranaya. Badra artinya Rembulan, atau keberuntungan yang baik sekali. Sedangkan Naya adalah perilaku kebijaksanaan. Semar Badranaya mengandung makna, di dalam perilaku kebijaksanaan, tersimpan sebuah keberuntungan yang baik sekali, bagai orang kejatuhan rembulan atau mendapatkan wahyu.
Dalam lakon wayang, yang bercerita tentang Wahyu, tokoh Semar Badranaya menjadi rebutan para raja, karena dapat dipastikan, bahwa dengan memiliki Semar Badranaya maka wahyu akan berada dipihaknya.
Menjadi menarik bahwa ada dua sudut pandang yang berbeda, ketika para satria raja maupun pendeta memperebutkan Semar Badranaya dalam usahanya mendapatkan wahyu.
Sudut pandang pertama, mendudukkan Semar Badranaya sebagai sarana phisik untuk sebuah target. Mereka meyakini bahwa dengan memboyong Semar, wahyu akan mengikutnya sehingga dengan sendirinya sang wahyu didapatkan. Sudut pandang ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok Kurawa atau tokoh-tokoh dari sabrang, atau juga tokoh lain yang hanya menginkan jalan pintas, mencari enaknya sendiri. Yang penting mendapatkan wahyu, tanpa harus menjalani laku yang rumit dan berat.
Sudut pandang ke dua adalah mereka yang mendudukan Semar Badranaya sebagai sarana batin untuk sebuah proses. Konsekwensinya bahwa mereka mau membuka hati agar Semar Badranaya masuk, tinggal dan menyertai kehidupannya, sehingga dapat berproses bersama meraih Wahyu. Penganut pandangan ini adalah kelompok dari keturunan Saptaarga. Dari ke dua sudut pandang itulah dibangun konflik, dalam usahanya memperebutkan turunnya wahyu. Dan tentu saja berakhir dengan kemenangan kelompok Saptaarga.
Mengapa wahyu selalu jatuh kepada keturunan Saptaarga? Karena keturunan Saptaarga selalu mengajarkan perilaku kebijaksannan, semenjak Resi Manumanasa hingga sampai Harjuna. Di kalangan Saptaarga ada warisan tradisi sepiritual yang kuat dan konsisten dalam hidupnya. Tradisi tersebut antara lain; sikap rendah hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa, mengurangi makan dan tidur dan laku lainnya. Karena tradisi-tradisi itulah, maka keturunan Saptaarga kuat diemong oleh Semar Badranaya.
Masuknya Semar Badranaya dalam setiap kehidupan, menggambarkan masuknya Sang Penyelenggara Illahi di dalam hidup itu sendiri. Maka sudah sepantasnya, anugerah Ilahi yang berujud wahyu akan bersemayam di dalamnya. Karena apa yang tersembunyi di balik tokoh Semar adalah Wahyu. Wahyu yang disembunyikan bagi orang tamak dan dibuka bagi orang yang hatinya merunduk dan melakukan perilaku kebijaksanaan. Seperti yang dilakukan keturunan Saptaarga.
BOCAH BAYANG DAN SEMAR
Bocah Bajang nggiring angin
anawu banyu segara
ngon-ingone kebo dhungkul
sa sisih sapi gumarang
Teks empat baris yang menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting, melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.
Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua.
Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata samar, yang berarti tidak jelas.
Sebuah dugaan, tokoh Semar dalam Pewayangan merupakan perwujudan dari kerinduan manusia dalam pengembaraannya menyelami yang Ilahi. Dikarenakan Hyang Maha Sempurna itu tidak kelihatan, tidak bisa diraba, jauh tak terbatas, dekat tidak bersentuhan, maka sulitlah untuk menggambarkannya. Oleh karena kekurangannya, kelemahannya dan cacat-cacatnya, manusia hanya dapat menggambarkan ketidakmampuannya menggambarkan yang Ilahi. Maka yang muncul kemudian adalah bentuk yang tidak sempurna.
Lahirnya karya yang disengaja tidak sempurnya seperti wayang Ki Semarasanta atau Semar, merupakan sebuah konsep kerendahan hati, penyadaran diri dan keterbukaan pribadi akan kelemahannya, kekurangannya, cacat-cacatnya. Karena dengan sikap tersebut manusia diyakini mampu nglenggahake (menghadirkan dan mendudukkan) yang Maha Sempurna.
Selain tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cebol berkulit hitam yang dimaksudkan untuk nglenggahake kesempurnaan yaitu Bathara Ismaya, di pewayangan juga ada tokoh lain yang dibuat bajang, kerdil, untuk tujuan yang sama yaitu: Sang Hyang Pada Wenang dan Dewa Ruci.
Untuk menandaskan munculnya tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cacat yang berpribadi mendua, diiringi dengan lagu Bocah Bajang sedang membawa binatang piaraan yang mempunyai sifat mendua pula. Yaitu Seekor Kerbau, binatang yang bodoh dan tumpul otaknya, menggambarkan kelemahan manusia. Dan seekor Sapi Gumarang, binatang yang cerdas dan mempunyai tanduk sangat tajam, menggambarkan ketajaman manusia akan misteri Ilahi.
Dari paparan tersebut tokoh Semar yang diekspresikan ke dalam bentuk wayang dan tokoh Bocah Bajang yang di ekspresikan ke dalam lagu jineman, mempunyai inti makna yang sama. Ke duanya memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.
0 komentar:
Posting Komentar