Hanoman dalam pewayangan Jawa
Hanoman sebagai tokoh wayang kulit dari Jawa.
Hanoman dalam pewayangan Jawa merupakan putera Bhatara Guru yang menjadi murid dan anak angkat Bhatara Bayu. Hanoman sendiri merupakan tokoh lintas generasi sejak zaman Rama sampai zaman Jayabaya.
Kelahiran
Anjani adalah puteri sulung Resi Gotama yang terkena kutukan sehingga berwajah kera. Atas perintah ayahnya, ia pun bertapa telanjang di telaga Madirda. Suatu ketika, Batara Guru dan Batara Narada terbang melintasi angkasa. Saat melihat Anjani, Batara Guru terkesima sampai mengeluarkan air mani. Raja para dewa pewayangan itu pun mengusapnya dengan daun asam (Bahasa Jawa: Sinom) lalu dibuangnya ke telaga. Daun sinom itu jatuh di pangkuan Anjani. Ia pun memungut dan memakannya sehingga mengandung. Ketika tiba saatnya melahirkan, Anjani dibantu para bidadari kiriman Batara Guru. Ia melahirkan seekor bayi kera berbulu putih, sedangkan dirinya sendiri kembali berwajah cantik dan dibawa ke kahyangan sebagai bidadari.
Mengabdi pada Sugriwa
Bayi berwujud kera putih yang merupakan putera Anjani diambil oleh Batara Bayu lalu diangkat sebagai anak. Setelah pendidikannya selesai, Hanoman kembali ke dunia dan mengabdi pada pamannya, yaitu Sugriwa, raja kera Gua Kiskenda. Saat itu, Sugriwa baru saja dikalahkan oleh kakaknya, yaitu Subali, paman Hanoman lainnya. Hanoman berhasil bertemu Rama dan Laksmana, sepasang pangeran dari Ayodhya yang sedang menjalani pembuangan. Keduanya kemudian bekerja sama dengan Sugriwa untuk mengalahkan Subali, dan bersama menyerang negeri Alengka membebaskan Sita, istri Rama yang diculik Rahwana murid Subali.
Melawan Alengka
Pertama-tama Hanoman menyusup ke istana Alengka untuk menyelidiki kekuatan Rahwana dan menyaksikan keadaan Sita. Di sana ia membuat kekacauan sehingga tertangkap dan dihukum bakar. Sebaliknya, Hanoman justru berhasil membakar sebagian ibu kota Alengka. Peristiwa tersebut terkenal dengan sebutan Hanoman Obong. Setelah Hanoman kembali ke tempat Rama, pasukan kera pun berangkat menyerbu Alengka. Hanoman tampil sebagai pahlawan yang banyak membunuh pasukan Alengka, misalnya Surpanaka (Sarpakenaka) adik Rahwana.
Tugas untuk Hanoman
Dalam pertempuran terakhir antara Rama kewalahan menandingi Rahwana yang memiliki Aji Pancasunya, yaitu kemampuan untuk hidup abadi. Setiap kali senjata Rama menewaskan Rahwana, seketika itu pula Rahwana bangkit kembali. Wibisana, adik Rahwana yang memihak Rama segera meminta Hanoman untuk membantu. Hanoman pun mengangkat Gunung Ungrungan untuk ditimpakan di atas mayat Rahwana ketika Rahwana baru saja tewas di tangan Rama untuk kesekian kalinya. Melihat kelancangan Hanoman, Rama pun menghukumnya agar menjaga kuburan Rahwana. Rama yakin kalau Rahwana masih hidup di bawah gencetan gunung tersebut, dan setiap saat bisa melepaskan roh untuk membuat kekacauan di dunia.
Beberapa tahun kemudian setelah Rama meninggal, roh Rahwana meloloskan diri dari Gunung Ungrungan lalu pergi ke Pulau Jawa untuk mencari reinkarnasi Sita, yaitu Subadra adik Kresna. Kresna sendiri adalah reinkarnasi Rama. Hanoman mengejar dan bertemu Bima, adiknya sesama putera angkat Bayu. Hanoman kemudian mengabdi kepada Kresna. Ia juga berhasil menangkap roh Rahwana dan mengurungnya di Gunung Kendalisada. Di gunung itu Hanoman bertindak sebagai pertapa.
Anggota Keluarga
Berbeda dengan versi aslinya, Hanoman dalam pewayangan memiliki dua orang anak. Yang pertama bernama Trigangga yang berwujud kera putih mirip dirinya. Konon, sewaktu pulang dari membakar Alengka, Hanoman terbayang-bayang wajah Trijata, puteri Wibisana yang menjaga Sita. Di atas lautan, air mani Hanoman jatuh dan menyebabkan air laut mendidih. Tanpa sepengetahuannya, Baruna mencipta buih tersebut menjadi Trigangga. Trigangga langsung dewasa dan berjumpa dengan Bukbis, putera Rahwana. Keduanya bersahabat dan memihak Alengka melawan Rama. Dalam perang tersebut Trigangga berhasil menculik Rama dan Laksmana namun dikejar oleh Hanoman. Narada turun melerai dan menjelaskan hubungan darah di antara kedua kera putih tersebut. Akhirnya, Trigangga pun berbalik melawan Rahwana.
Putera kedua Hanoman bernama Purwaganti, yang baru muncul pada zaman Pandawa. Ia berjasa menemukan kembali pusaka Yudistira yang hilang bernama Kalimasada. Purwaganti ini lahir dari seorang puteri pendeta yang dinikahi Hanoman, bernama Purwati.
Kematian
Hanoman berusia sangat panjang sampai bosan hidup. Narada turun mengabulkan permohonannya, yaitu "ingin mati", asalkan ia bisa menyelesaikan tugas terakhir, yaitu merukunkan keturunan keenam Arjuna yang sedang terlibat perang saudara. Hanoman pun menyamar dengan nama Resi Mayangkara dan berhasil menikahkan Astradarma, putera Sariwahana, dengan Pramesti, puteri Jayabaya. Antara keluarga Sariwahana dengan Jayabaya terlibat pertikaian meskipun mereka sama-sama keturunan Arjuna. Hanoman kemudian tampil menghadapi musuh Jayabaya yang bernama Yaksadewa, raja Selahuma. Dalam perang itu, Hanoman gugur, moksa bersama raganya, sedangkan Yaksadewa kembali ke wujud asalnya, yaitu Batara Kala, sang dewa kematian.
HANOMAN vs RAHWANA
Di sebuah kerajaan, hiduplah sepasang raja dan ratu yang tampan dan cantik. Kerajaan ini memiliki panglima perang bernama Hanoman, berupa seekor kera yang cerdik, kuat dan pandai bertarung. Suatu hari, ratu sedang berjalan-jalan di hutan kerajaan. Sang raja bersama Hanoman dan pasukannya pergi berburu. Ketika sedang duduk-duduk, ratu melihat seekor kijang yang cantik. Rupanya kijang itu adalah jelmaan raksasa bernama Rahwana, raja dari kerajaan tetangga yang telah lama mengincar sang ratu.
Karena lengah, sang ratu pun diculik oleh Rahwana. Sekembalinya dari berburu, sang raja pun panik mencari istrinya dan ia pun berpendapat bahwa istrinya diculik oleh Rahwana. Ia mengutus Hanoman dan pasukan kera mencari istrinya ke kerajaan tetangga.
Hanoman membawa pasukannya menyerang kerajaan Rahwana. Malang tak dapat ditolak, mereka tersesat ke sebuah kota yang sangat besar dan megah hingga tak bisa menemukan jalan keluar. Beruntunglah pasukan kera bertemu dengan seorang tua-tua kota. Setelah menyampaikan maksud mereka, sang tua-tua berkata,
“Baiklah, aku akan memindahkan kalian ke pantai yang tak jauh dari kerajaan Rahwana. Di pantai kalian akan bertemu dengan seekor burung raksasa, tanyakan pada mereka bagaimana kalian bisa pergi ke kerajaan Rahwana.”
Hanya dengan merapal mantra, pasukan kera pun berpindah ke pantai. Benar kata tua-tua kota, di tepi pantai ada seekor burung raksasa duduk menunggu bangkai binatang disurutkan air laut. Hanoman dan pasukan kera awalnya hanya berbisik-bisik di dekat burung itu, dan tiba-tiba si burung mendekat dan bertanya,
“Namaku Sempati. Kalian ada perlu apa di sini?”
“Salam, wahai Sempati. Namaku Hanoman dan ini pasukanku. Kami mencari ratu kerajaan kami yang diculik. Apakah kamu tahu?”
“Ah. Aku melihat Rahwana membawa seseorang ke kerajaannya. Mungkin itu ratu kalian.”
“Lalu, bagaimana kami bisa menyeberangi laut ini untuk pergi ke kerajaan Rahwana?”
“Hmm.. Laut ini cukup luas, dan harus diseberangi oleh seseorang yang bisa terbang. Kalian takkan mampu jika hanya berenang.”
Hanoman dan pasukan kera berunding, dan diputuskan bahwa Hanoman akan pergi sendiri menyeberangi lautan untuk pergi ke kerajaan Rahwana karena di antara pasukan kera, hanya dia yang bisa terbang.
“Terimakasih, Sempati. Pasukanku akan kembali ke kerajaan dan aku yang akan terbang ke kerajaan Rahwana.”
Tiba juga Hanoman di kerajaan Rahwana. Ia menyamar menjadi seekor monyet kecil agar tidak tampak mencurigakan. Melompat dari satu taman ke taman lain, dari satu pendopo ke pendopo lain, Hanoman tak menemukan keberadaan sang ratu. Ia kelelahan dan beristirahat sejenak di dahan pohon.
Tiba-tiba ekor matanya menangkap sebuah taman kecil yang sepertinya belum disinggahinya. Benar saja, ia menemukan sang ratu sedang duduk melamun disitu.
“Wahai paduka ratu, saya Hanoman. Saya diutus raja untuk membawa paduka ratu pulang.”
“Aku diculik karena tertipu oleh Rahwana yang menjelma menjadi kijang. Bagaimana aku bisa mempercayaimu?”
Hanoman menunjukkan cincin sang raja yang dititipkannya, kalau-kalau sang putri meragukan orang yang diutusnya.
“Baiklah, aku percaya. Tapi.. Aku tidak mau kamu bawa pulang. Aku mau sang raja sendiri yang menjemputku.”
Hanoman pun minta diri dari hadapan sang ratu. Sebelum pulang, ia mengobrak-abrik taman raja yang paling indah. Tak disangka, karena terlalu marah ia jadi tak waspada. Hanoman tertangkap oleh tentara Rahwana. Sang raja yang kejam pun memutuskan Hanoman akan dihukum mati dengan cara dibakar. Untung penasihat raja cukup bijaksana dan menyarankan agar Hanoman dibakar ekornya saja sebagai penanda, dan menyuruh Hanoman pulang melapor ke rajanya.
Ketika ekor Hanoman dibakar, sang ratu melihat dari kejauhan dan merapal doa pada dewi Agni, dewi api. Doa sang ratu didengar, dan api yang membakar ekor Hanoman pun terasa sejuk. Dengan segera Hanoman memberontak dan melepas tali yang mengikatnya, lalu dengan melompat kesana kemari ia membakar kediaman raja. Raja dan segenap tentaranya tak siap menghadapi kekacauan yang terjadi dengan tiba-tiba ini. Penghuni surga memuji keberanian Hanoman dan berkata bahwa selain rumah yang dipakai untuk menyandera sang ratu, seluruh kota habis dilalap api.
Hanoman melesat terbang dan mencelupkan ekornya ke laut untuk memadamkan api. Tak lama kemudian ia menyeberangi laut dan pulang ke kerajaan dan melapor kepada raja tentang apa yang telah ia lihat dan dengar. Hanoman menyampaikan pesan pada raja, bahwa sang ratu baru mau pulang jika sang raja sendiri yang menjemputnya.
Raja pun menyiapkan pasukan terlatih yang jumlahnya banyak. Mereka pergi ke kerajaan Rahwana dan terjadilah pertempuran maha dahsyat. Dengan kecerdikan dan kesaktian raja dan panglima perangnya, Rahwana berhasil dikalahkan dan sang ratu dibawa dengan selamat kembali ke kerajaan.
SINTA OBONG
Kuasa matahari sore membentang kesunyian kala Sinta membela harga dirinya yang begitu tinggi. Sinta sangat tersinggung saat suaminya, Rama menuduh sudah tidak suci lagi pasca penculikan yang dilakukan oleh Rawana. Rama mengucapkan kata-kata keji pada Sinta disaksikan banyak orang, hanya demi menguji kesetiaan dan kehormatannya. Begitu mengerikan, kata-kata Rama bagaikan anak panah yang merobek dadanya, dengan banjir air mata Sinta menjawab dengan terbata-bata, :
“Aku bersumpah suamiku, o, Rama. Aku tak melakukan hal nista seperti yang kau tuduhkan kepadaku. Sebegitu sangsinya kah kau padaku, jelas-jelas aku begitu tulus mencintai Kakanda. Baiklah aku akan buktikan kepadamu dan rakyatmu kalau aku tidak pernah disentuh Rawana sama sekali. Laksmana, tolong siapkan pembakaran untukku, jika aku melebur bersama api berarti aku adalah hamba yang nista, berarti perpisahan sudah di depan mata, tetapi sebaliknya, jika aku tak termakan oleh api, aku ingin Kakanda meminta maaf padaku di depan rakyatmu yang sangat kau cintai itu.”
Laksmana (adik Rama) terkaget mendengar permintaan kakak iparnya itu, lalu ia melirik Rama, namun Rama membisu, kaku. Laksmana mengerti akan sikap Rama, lalu ia siapkan kayu-kayu dibantu oleh pasukannya untuk pembakaran yang diminta oleh Sinta. Wanita yang ia cintai itu. Di saat Laksmana menyiapkan api pembakaran untuknya, Sinta berbisik lirih sekali, seperti nyanyian Maharesi di Sungai Tamasa.
dharmãdarthah prabavathi dharmat prabavathe sukham
dharmena labhate sarvam dharmasãramidam jagat
Dari darma datang sukses
dari darma datang bahagia
darma memberi segalanya
darma adalah intisari dunia
Sinta ingat betul pesan dari ayahandanya itu, darma adalah semangatnya untuk hidup, darma baginya adalah Rama, tapi kini tak ada artinya lagi, darma yang ia anggap kebahagiaannya itu tidak mau bersamanya lagi.
Tak percaya padanya, lalu buat apa ia hidup toh, darma pun tak ingin mendampinginya. Hatinya hancur, luluh ditelan bumi.
Sinta terus menyanyi lirih, entah sebuah doa atau semacam syair, namun terdengar seperti kekesalan yang terpendam, namun Sinta memiliki batin yang suci, jiwa yang putih. Sinta pasrah, Sinta ingin cintanya tidak diragukan oleh Rama, Sinta sangat mencintai Rama sepenuh hatinya, setia seperti bintang pada malam, awan gelap pada hujan, dan matahari pada bumi. Kesetiaannya tak layak diukur.
Sinta terus melirih, hembusan kata-katanya hilang terbawa angin yang ditaburi Dewa Angin. :
Adilkah jika kau mengukur kesetiaan semua wanita dengan bandingan kebiasaan hanya beberapa wanita?
Bagaimana bisa kau meragukan aku? Apakah kau tak kenal aku?
Rawana yang menyentuh aku, bukan aku yang menyentuh Rawana.
Aku tahanan, Tuanku, takdirkulah yang harus disalahkan. Apa yang bisa kulakukan?
Aku tak berdaya. Rawana jelas lebih perkasa, menguasai jasmaniku.
Tapi yang bisa kukuasai – hatiku – tetap setia dan selalu setia padamu.
Jika, setelah begitu lama kita hidup bersama saling mencinta dan kau masih belum mengenal aku.
Maka habislah sudah. Tamatlah riwayatku.
Ketika kau menyuruh Hanuman untuk mencari aku,
katakan, Raja, apa yang menghalangimu untuk tidak membuang saja aku?
Kalau saja Hanuman berkata kepadaku bahwa kau tak menghendaki aku lagi. Dengan rela hati aku akan bunuh diri. Waktu itu juga, Tuanku. Apa gunanya perang yang sia-sia ini, begitu banyak korban, begitu banyak permintaan pada begitu banyak kawan? Semuanya sia-sia, semuanya tak ada artinya.
Dan tindakanmu, o, permata semua manusia, kemarahanmu mengusir kemurnian seorang wanita – mengapa kau jadi begitu kecil, begitu kerdil?
Aku dinamakan Janaki, putri Raja Janaka, tetapi aku dilahirkan dari bumi. Karenanya namaku Sinta, jalur bajakan.
Pernahkah kaupikirkan tingginya kemuliaan kelahiranku?
Sebelum aku menjatuhkan keputusanku?
Apakah kau tak pernah menimbang-nimbang tentang mulianya keluargaku saat kau meremas tanganku di hari perkawinan?
Apakah semua baktiku, kesetiaanku, kini lenyap begitu saja?
Dengan napas sesak oleh kesedihan, Sinta berpaling kepada Laksmana dan berkata, “Adakah api itu sudah siap untukku? Aku sungguh kecewa terhadap kakandamu. Hanya itulah satu-satunya cara untuk melenyapkan kesedihanku. Aku telah dituduh dengan membabi buta. Aku tak ingin hidup lagi. Aku akan memasuki api pengorbanan. Suamiku telah mengusirku di depan umum. Ia tak lagi percaya akan kesucianku, akan cintaku.”
Laksmana tak berani menjawab, ia tak pantas menatap mata Sinta. Ia tak mampu berbuat apa-apa demi wanita yang ia cintai itu. Saat Rama, kakaknya, telah merebut hati Sinta dahulu, ia biarkan hatinya terluka, cintanya terus ia pendam. Tak berdaya, tak ia umbar-umbarkan. Tak ada yang tahu, kecuali Brahma. Hanya tatapan mata yang melindungi Sinta, yang mampu dilakukan demi Sinta. Kesediahan Sinta sungguh pilu, tanpa dikomando oleh siapapun Sinta sudah tahu apa yang harus ia lakukan.
Dunia sungguh sunyi, senyap. Tak ada yang berani berbicara maupun memandang Rama. Rama sendiri bagaikan patung, tetap pada pendiriannya, tak kenal ampun bagai kala di akhir dunia. Entah kenapa Rama begitu memperdulikan gunjingan rakyatnya. Kenapa ia tak percaya pada wanitanya sendiri. Rama adalah pemimpin, penguasa bumi ini. Ksatria hebat yang mengalahkan Rawana, musuh bebuyutan, musuh yang membuat Wisnu harus lahir menjadi manusia, menjadi Rama. Namun kali ini ksatria itu sungguh rapuh, rapuh pada cintanya, tuli pada sayangnya, buta oleh amarah.
Sinta sangat tahu, semua menantikan tindakannya. Dengan langkah jalan yang tidak kenal takut. Sinta mendekati Rama, kepalanya tidak mau ia tundukkan sebagaimana biasanya, tapi ia sadar diri, ia masih istri Rama. Dengan penuh hormat Sinta mengangkat tangannya dan menyembah Rama. Sinta melanjutkan langkahnya, mengelilingi Rama hingga setengah lingkaran. Kemudian dengan kepala tanpa tunduk ia melangkah menuju api yang telah berkorbar besar. Ia ingin menunjukkan pada semua orang, ia tidak takut, karena memang ia tak bersalah.
Sambil melangkahkan kakinya mendekati kobaran api, Sinta menyeret baju sarinya yang menyentuh tanah, seolah menyapu dosa-dosa orang yang tengah menyakitinya, hati Sinta tak ingin mendendam, srrkkk srrkkk, bunyinya seolah doa banyak dewa, yang siap melindunginya. Bunyi gelang di kakinya, seakan-akan semua pura di seluruh dunia tengah membunyikan lonceng untuk mendoakannya.
Dalam langkahnya, Sinta berdoa pada para Dewata dan Brahmana, kemudian dengan kedua tangan merapat dalam anjali ia berbisik di depan api.
Karena hatiku tak pernah berpaling pada Rama
maka biarlah dewa api menjadi saksi seluruh dunia untuk melindungiku!
Karena Rama telah menuduhku walaupun aku tak berdosa
maka biarlah dewa api disaksikan oleh seluruh dunia untuk melindungiku!
Karena aku tidak pernah, dalam pikiran, kata dan tingkah tidak setia kepada Rama,
maka biarlah dewa api untuk melindungiku!
Karena dewa matahari dan dewa angin,
karena dewa bulan dan para dewa dari semua penjuru,
karena dewa pagi hari dan dewa senja dan malam.
Dewa bumi dan dewa lainnya lebih menghormati kepribadianku.
Maka biarlah dewa api yang melindungiku!
Tepat doa selesai, Sinta tepat berada di depan api. Lalu Sinta mengelilingi api yang tengah berkobar besar itu setengah lingkaran. Kemudian dengan berani ia berjalan memasuki kobarannya. Semua makhluk dunia menyaksikan Sinta yang bermata besar itu masuk api. Saat Sinta berjalan masuk kobaran api, jeritan yang melengking tajam mengerikan diteriakkan oleh raksasa dan wanara. Jeritan ketidaksetujuan, jeritan kepasrahan, jeritan yang dihasilkan oleh pelegitimasian seseorang, jeritan ketidakmampuan untuk melawan Wisnu.
Ribuan lengkingan terus meraung-raung. Rama mendengar suara-suara ribut itu dan bertanya dalam hati apa yang sedang terjadi dengan mata berlinang air mata. Ia tak sanggup melihat wanita yang ia cintai itu tersakiti oleh api.
Tiba-tiba, para dewa; Yama, Indra, Waruna, Siwa, dan Brahma melesat ke Alengka untuk menemui Rama yang tengah terpaku di depan api yang merah menyala.
Para dewa itu berkata kepada Rama, :
“Pencipta alam semesta, yang dipertuan segalanya, o, yang terlahirkan sendiri, bagaimana bisa kau tak tahu tentang keilahianmu? Kau adalah pemimpin semua dewata!”
Lalu Rama menjawab sendu,
Aku Rama, aku manusia, putra Dasarata.
Katakan, o, Brahma – siapa sebenarnya aku?
Dari mana aku datang?
Brahma yang teragung di antara para brahma, menjawab,
Engkau adalah narayana, bersenjatakan cakra,
engkau adalah kebenaran pada awalnya, kebenaran pada
perkembangannya, kebenaran pada akhirnya.
Engkau adalah darma, yang mengatur dunia,
engkau adalah Krisna, engkau adalah awal dan akhir.
Engkau adalah Wisnu, Dewa dengan pusar teratai.
Aku adalah hatimu, Dewi Saraswati lidahmu,
alam semesta tubuhmu, bumi kedudukanmu,
Sinta adalah Dewi Laksmi, engkau Wisnu.
Engkau lahir sebagai manusia untuk menghancurkan Rawana.
Tujuanmu tercapai, darma terpenuhi!
Begitu Brahma selesai berucap, sang dewi api memadamkan api unggun pembakaran korban dan maju sambil mendukung Sinta. Brahma mendukung Sinta, karena memang Sinta tidak bersalah, Brahma membuktikan pada Rama.
Dari dalam api yang habis terkikis oleh Brahma, muncul sesosok Sinta berpakaian merah, secermelang matahari terbit; rambutnya hitam legam berombak, bunga indah yang hangus pun tidak oleh api. Tidak terluka sedikit pun, didampingi oleh dewa api Sinta berjalan mengarah pada Rama dan Brahma juga para dewa yang lainnya, dan dewa api menyerahkan Sinta kepada Rama.
Dewa api, saksi dunia ini berkata;
Inilah istrimu, Sinta, sama sekali tanpa noda. Ia tak pernah
tidak setia, dalam pikiran, kata-kata, pandangan.
Rahwana menculiknya. Tetapi ia tetap murni,
Hanya memikirkan kamu. Setia kepada kamu.
Ambillah dia sekarang untuk selalu lembut dengannya.
Hati Rama meledak oleh kebahagiaan. Rama yang penuh darma itu menangis, dan berkata kepada dewa api.
Adalah sangat penting, bahwa Sinta kuuji lebih dahulu
dengan Ujian Api untuk meyakinkan rakyat.
Dia cantik sekali. Dia tinggal di istana Rahwana lama sekali.
Kalau dia tidak diuji rakyat akan bergunjing,
‘Rama buta oleh birahi.’ Aku tentu tahu, Sinta setia padaku.
Rahwana takkan pernah memperkosa Sinta
yang dilindungi oleh kesucian.
Seperti laut dikelilingi pantai.
Aku teguh pada kebenaran
maka aku pun menahan diri,
untuk tidak mencegahnya masuk ke dalam api.
Rahwana tak mungkin berani menyentuh Sinta
karena dia adalah lidah api.
Sinta bagiku adalah cahaya bagi matahari,
aku tak mungkin meninggalkannya.
Seperti nama baik mungkin
meninggalkan manusia berkepribadian mulia.
Junjungan dunia penuh kasih, aku pasti mengikuti petunjukmu.
Begitulah kata-kata Rama, ia dipersatukan kembali dengan istrinya, Sinta, dalam kebahagiaan dan kegembiraan yang luar biasa. Semua pun bersorak senang dan bahagia, semua percaya pada Sinta, para wanita menangis bahagia, dewinya sungguh mulia. Rakyat Rama bersorai mendoakan keduanya. Saling menangis dan memeluk.
bagi manusia umum, wajar jika terdapat PERTANYAAN MENGGELITIK :
Rahwana rela kehilangan apa saja demi Dewi Shinta, mulai dari kerajaan sampai dirinya sendiri rela mati. Tapi Prabu Rama malah membakar Dewi Shinta untuk menguji kesetiaan Shinta, Pertanyaannya : Siapakah yang sejati mencintai Shinta - Rahwana atau Rama?
kita tidak akan tahu makna sesungguhnya, jika hanya mengetahui sebagiannya saja,
dan belum sampai mengetahui kisah selanjutnya., belum sampai pada kisah akhirnya.
wallahualam.
0 komentar:
Posting Komentar