DARI SEORANG PETUALANG, DEMONSTRAN, DAN PENCINTA ALAM GIE
MASYARAKAT BORJUIS
ditulis saat Soe Hok Gie berumur 18 thn.
Ada suatu yang patut ditangisi
Aku kira kau pun tahu
Masyarakatmu, masyarakat borjuis
Tiada kebenaran disana
Dan kalian selalu menghindarinya
Aku selalu serukan (dalam hati tentu)
”Wahai, kaum proletar sedunia”
Berdoalah untuk masyarakat borjuis.
Ada golongan yang tercampak dari kebenaran
Dan berdiri atas nilai kepalsuan
Aku kira, tiada bahagia disana
Sebab tiada kasih, kebenaran dan keindahan
Dalam kepalsuan
Aku akan selalu berdoa baginya
Aku kira anda tiada kenal kasih
(Nafsu tentu ada)
Apakah bernilai dengan uang
Dan padamu, kawan
Semua adalah uang, perhitungan saldo
Tiada yang indah dalam kepalsuan
(Engkau tentu yakin?)
Di sinilah a moral ditutup oleh a moral
Di sinilah tabir-tabir yang terlihat
Dan seringkali aku bersepeda sore-sore
Bertemu dengan gadismu (borjuis pula)
Aku begitu sedih dan kasih
Aku begitu sedih dan kasih
Ya, Tuhan
berilah mereka kebenaran
Aku tahu
Gadis cantik di mobil, bergaun abu-abu
Tapi bagiku tiada apa.
(Gie)
Sosialisme
Soe Hok Gie jelas adalah seorang sosialis tulen. Sebagai aktivis dari GM Sos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), dia akrab dengan tulisan-tulisan dan pemikir-pemikir sosialis seperti Jean Jaures, Rosa Luxemburg, Gramsci, Sjahrir dan lain-lain. Dia selalu berharap agar setiap asset yang dimiliki negara digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD ‘45), tapi tanpa melakukan peniadaan kelas yang agresif dan agitatif layaknya aksi kaum Marxis-Leninis.
SEBUAH TANYA
“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih,
lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri,
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi,
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya.
kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu.
kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram.
wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti.
seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
(Gie)
SIAPA GIE??
Soe Hok Gie (lahir di Djakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).Catatan Seorang Demonstran
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).
Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie.
Sosialisme
Soe Hok Gie jelas adalah seorang sosialis tulen. Sebagai aktivis dari GM Sos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), dia akrab dengan tulisan-tulisan dan pemikir-pemikir sosialis seperti Jean Jaures, Rosa Luxemburg, Gramsci, Sjahrir dan lain-lain. Dia selalu berharap agar setiap asset yang dimiliki negara digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD ‘45), tapi tanpa melakukan peniadaan kelas yang agresif dan agitatif layaknya aksi kaum Marxis-Leninis.
Sekuler
Pemikiran-pemikiran Gie, jelas berusaha memisahkan antara Agama dan Negara.
Mari kita lihat dalam kerangka bagaimana Gie merumuskan sekularisme-nya. Beberapa tulisannya dalam “Zaman Persimpangan” (Gie berkesempatan mengunjungi Amerika dan Australia), dia melihat langsung fenomena kaum hippies, anti-establishment dan semacamnya pada waktu itu. Saat itu, issue agama menjadi tidak menarik sama sekali bagi Gie, dan paham sekularian jauh lebih menarik dan sexy bagi orang-orang muda seperti Gie.
Dalam kaitan ini pula kita bisa memahami thesis Nurcholish Madjid di awal 70-an : Islam Yes, Partai Islam No. Ketika label-label agama dilekatkan pada sebuah organ non agama (partai, institusi dan lain-lain) maka dia menjadi kehilangan makna tematis dan historisnya. Bahkan dalam beberapa kasus, hal ini menjadi beban bagi organ yang dilekatkan dengan label agama, untuk selalu bertindak sesuai dengan ‘rules‘ yang terdapat dalam kitab suci.
Evolusi Budaya
Gie percaya, bahwa budaya (dan dalam range tertentu ini juga menyangkut agama, yang dalam kajian sejarah dipandang sebagai sebuah bentuk kebudayaan manusia) bersifat evolutif; selalu bergerak dan berubah sesuai dengan tuntutan jaman. Dalam hal ini, Gie percaya adanya sebuah ‘mixed-for-good‘, adagium bahwa pergesekan antar budaya akan menghasilkan sebuah kebudayaan baru yang lebih baik dari kebudayaan sebelumnya. Karena itu, dalam tataran implementasinya, Gie mendukung kebijakan kawin-campur bagi etnis Tinghoa waktu itu (dan etnis-etnis lainnya juga) agar sebuah nation-state bernama Indonesia ini menjadi sebuah entitas yang plural dan inklusif.
0 komentar:
Posting Komentar