Rabu, 10 Agustus 2011

BACA BUKU BUKA DUNIA

KUPU-KUPU DI DALAM BUKU
(sebuah puisi Taufiq Ismail tentang BUKU)

Ketika duduk di stasiun bis, di gerbong kereta api,
di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa,
kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang,
di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku
dan cahaya lampunya terang benderang,
kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika bertandang di sebuah toko,
warna-warni produk yang dipajang terbentang,
orang-orang memborong itu barang
dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran,
dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika singgah di sebuah rumah,
kulihat ada anak kecil bertanya pada mamanya,
dan mamanya tak bisa menjawab keinginan-tahu putrinya, kemudian katanya,
“tunggu, tunggu, mama buka ensiklopedia dulu,
yang tahu tentang kupu-kupu”,
dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang,

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama,
di stasiun bis dan ruang tunggu kereta api negeri ini buku dibaca,
di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca,
di tempat penjualan buku laris dibeli,
dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu
tidak berselimut debu
karena memang dibaca.

Taufiq Ismail, 1996

* Memprihatinkan..
Berdasarkan hasil temua UNDP, posisi minat baca Indonesia berada di peringkat 96, (2008) sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Untuk Kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara dengan peringkat di bawah Indonesia, yakni Kamboja dan Laos. Masing-masing berada di urutan angka seratus.

Apa pun alasannya, posisi Indonesia yang terlalu rendah dalam minat baca ini tentu sangat memprihatinkan bagi bangsa yang mengklain sebagai bangsa besar. Oleh sebab itu, perlu ada upaya konkret dalam meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia.

PRIHATIN tentang kondisi PUSAT DOKUMENTASI SASTRA HB JASSIN di TIM mengalami ancaman bangkrut karena kekurangan dana pemeliharaan..

KITA sungguh sedih melihat bagaimana rendahnya penghargaan bangsa ini terhadap intelektualitas. Bisa-bisanya kita tidak peduli terhadap akan ditutupnya Perpustakaan Sastra HB Jassin, karena tidak ada anggaran yang bisa disediakan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Padahal perpustakaan adalah gudangnya ilmu. Dari tempat itulah kita bisa membuka wawasan warga masyarakat untuk tahu perkembangan ilmu pengetahuan. Khusus Perpustakaan Sastra HB Jassin merupakan tempat kita untuk memahami kesusastraan Indonesia.

Kita sungguh tidak habis mengerti bahwa tempat yang begitu strategis bisa dianggap tidak penting. Mulai dari pejabat eksekutif hingga legislatif di DKI Jakarta sampai lupa menganggarkan biaya bagi pengelolaan perpustakaan itu.

Inilah yang keliru dalam pemahaman kita menyisihkan 20 persen anggaran untuk pendidikan. Sama sekali tidak dipahami bahwa anggaran itu seharusnya diperuntukkan bagi upaya mencerdaskan dan mencerahkan bangsa ini.

Tidak usah heran apabila anggaran akhirnya lebih banyak salah sasaran. Tidak sedikit bantuan operasional sekolah yang dipergunakan secara keliru. Akibatnya kita sudah menyisihkan anggaran yang begitu besar, tetapi masyarakat yang dihasilkan adalah masyarakat yang bodoh.

Sekali lagi kita dipertunjukkan oleh orientasi dari bangsa ini yang sama sekali tidak bertujuan meningkatkan kualitas dari warga bangsanya. Para pemimpin bangsa ini larut pada orientasi materi dan seakan-akan kemajuan dari bangsa ini cukup dicapai ketika pendapatan per kapita angkanya meningkat.

0 komentar:

Posting Komentar